Jumat, 18 Januari 2013

Bencana dari Ekonomi Ekspoitatif

masjjid Isu bencana kini semakin menghangat. Belum hilang dalam ingatan kita bagaimana gempa bumi 9,5 skala Richter dan tsunami memporak-porandakan Aceh pada 26 Desember 2004 dan membuat bangsa ini berduka. Kini, dalam dua bulan terakhir berturut-turut bencana menerjang Wasior dengan banjir bandangnya, Erupsi Merapi di Jogjakarta, serta tsunami yang menerjang Mentawai. Berbagai bencana yang terjadi ini membuktikan bahwa kita berada dalam kawasan rawan bencana sehingga membutuhkan proses penyesuaian (adaptasi) dan bagaimana mengurangi dampak (mitigasi) kalau bencana itu terjadi.
Kalau kita lihat secara teoritis, setidaknya bencana dibagi dua, yakni (1) bencana alam (natural disaster) yang merupakan bencana yang disebabkan oleh aktivitas alam seperti gunung meletus, gampa bumi, dan tsunami; serta (2) bencana yang disebabkan aktivitas manusia yang berlebihan terhadap alam (man made disaster) seperti banjir bandang dan kekeringan yang disebabkan oleh kerusakan hutan dan konversi lahan untuk pertambangan, perkebunan skala besar, dan lain-lain, pemanasan global dan perubahan iklim yang disebabkan oleh kegiatan pelepasan karbon (CO2) dan beberapa zat lain ke udara, kelaparan yang disebabkan oleh perang dan penguasaan sumberdaya pangan yang tidak adil, dan sebagainya. Tsunami di Mentawai—seperti halnya tsunami di Aceh tahun 2004 lalu—dan Erupsi Merapi merupakan bencana alam dan diluar kontrol manusia.
Sedangkan banjir bandang di Wasior Papua kalau kita lihat secara jeli lebih disebabkan oleh kerusakan hutan di kawasan hulu, yang menyebabkan kemampuan lahan dan pohon-pohon untuk menahan air menjadi berkurang. Kalau bicara kerusakan hutan dan lahan, siapa lagi pelakunya kalau bukan manusia. Tidak mungkin alam menjadi penyebab kerusakan hutan. Kepentingan ekonomi sempit untuk mengeruk keuntungan sesaat biasanya menjadi motivasi pihak-pihak tertentu untuk menghancurkan hutan-hutan perawan di Papua.
Bulan Oktober-Nopember 2010 ini juga ditandai oleh berbagai bencana banjir di Aceh. Pantai Barat-Selatan dan Utara-Timur Aceh adalah kawasan-kawasan yang setiap tahun dilanda banjir. Kota Banda Aceh sendiri berada dalam kawasan rawan bencana, baik bencana alam maupun bencana yang disebabkan oleh kegiatan manusia. Beberapa sumber menyebutkan bahwa kalau proses perusakan hutan Lindung Seulawah terus berlangsung, maka kehidupan nyaman di Banda Aceh hanya akan bertahan hingga 2015 alias 5 tahun lagi. Setelah itu, Banda Aceh juga akan menjadi target banjir besar seperti beberapa kota besar lainnya di Indonesia.
Ketika pembangunan dijalankan secara tidak berkelanjutan dan merusak, ketika sumberdaya alam dieksploitasi secara berlebihan (jumoh, rakus), maka sesungguhnya kita sedang “menabung bencana”, yakni bencana yang kita buat sendiri (man made disaster) seperti banjir bandang, kekeringan, longsor, perubahan iklim, dan sebagainya. Menabung bencana juga berarti sebuah proses sadar yang kita dilakukan sedikit demi sedikit yang menyebabkan alam tidak mampu lagi menjaga keseimbangannya, sehingga bencana datang menimpa siapa saja tanpa pandang bulu.
Hampir semua kita berperan dan berkontribusi dalam menabung bencana ini, baik kontribusi besar maupun kecil. Pemerintah melalui berbagai kebijakan pembangunan yang eksploitatif dan merusak mempunyai kontribusi yang sangat besar terhadap meningkatnya ”tabungan bencana” ini. Masyarakat melalui prilaku dan pola konsumsi yang tidak berkelanjutan juga melakukan hal yang sama. Karena kita tahu bahwa bencana alam (natural disaster) merupakan bencana diluar kendali kita sebagai manusia, maka yang bisa kita lakukan adalah penyesuaian (adaptasi) dan pengurangan dampak resiko (mitigasi). Berbeda dengan bencana alam, bencana yang disebabkan oleh aktivitas manusia (man made disaster) membutuhkan intervensi di level pencegahan (preventif) melalui berbagai kebijakan politik pemerintah dan pola konsumsi masyarakat.
Kebijakan politik ini berkaitan dengan penggunaan kekuasaan pemerintah untuk mengelola sumberdaya alam secara bijak dan berkelanjutan dengan memasukkan mainstreaming bencana ke dalam setiap kebijakannya. RPJM Aceh yang direvisi Mei 2010 sudah cukup bagus memasukkan mainstreaming bencana. Namun, Rencana Tataruang Aceh (RTRA) yang sedang diproses di DPRA kelihatannya belum banyak menyentuh dimensi sadar bencana ini. Di satu sisi, kebijakan moratorium logging yang dicanangkan oleh Gubernur Irwandi tahun 2007 lalu cukup berdampak pada pengurangan kerusakan hutan di Aceh.
Namun, di sisi lain, Pemerintah Aceh sendiri terus memberikan konsesi pertambangan kepada investor asing. Data Walhi Aceh memperlihatkan bahwa saat ini terdapat lebih dari 100 buah konsesi pertambangan di Aceh yang luasnya antara 10 ribu sampai 20 ribu hektar, yang sebagian besar besar berada di kawasan Hutan Lidung dan rawan bencana seperti di Geumpang Pidie yang dikepung oleh 12 perusahaan besar. Artinya, kalau data ini valid, potensi kerusakan hutan Aceh di kawasan lindung mencapai hamper 200 ribu hektar.
Demikian juga perkebunan skala besar yang menghancurkan kawasan-kawasan hutan dengan biodiversity tinggi seperti di Rawa Tripa, Aceh Singkil, dan sebagainya. Data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh dan dimuat di Harian Serambi Indonesia (6/11) memperlihatkan bahwa kontribusi sektor pertambangan terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) triwulan III 2010 sangat kecil dan tidak signifikan dengan kerusakan yang diakibatkannya. Kontribusi sektor pertambangan hanya 1,27% (satu koma dua puluh tujuh persen) dalam PDRB Aceh. Ini artinya, kehadiran pertambangan yang selama ini banyak menimbulkan konflik dengan masyarakat seperti di Lhoong, Manggamat, Geumpang, dan lain-lain lebih banyak membawa mudharat dibandingkan manfaatnya kepada masyarakat Aceh.
Di Pidie contohnya, kerusakan sumber air di Geumpang menyebabkan setiap tahun sekitar 400 ribu jiwa petani di pesisir Pidie kesulitan air untuk kebutuhan pertanian di musim tanam, namun ketika musim hujan tiba, air berlimpah dan banjir. Sehingga muncul ungkapan di kalangan petani: kalau dulu mereka berkonflik karena “tanah”, kini mereka berkelahi karena “air”. Karena itu, Pemerintah Aceh perlu melakukan redesain terhadap pengelolaan sumberdaya alam. Kalau Gubernur Irwandi sudah memulai melakukan redesain pengelolaan hutan, ke depan (siapapun gubernurnya), Pemerintah Aceh harus melakukan redesain pengelolaan sumber daya alam secara keseluruhan seperti pertambangan, migas, perkebunan, dan lain sebagainya. Supaya investasi ekstraktif di Aceh tidak berpotensi menabung bencana.
Yang dibutuhkan oleh masyarakat Aceh adalah investasi yang akuntable, transparan dan bertanggung jawab terhadap dampak lingkungan, serta memberikan keuntungan yang signifikan secara ekonomi kepada masyarakat kita. Bukan investasi yang hanya mengeruk dan mengambil “tanah dan air” kita untuk dibawa ke luar Aceh, dan mereka mendapat keuntungan berlipat ganda di sana tanpa kita ketahui. Ide moratorium pertambangan yang sudah didukung oleh kalangan DPRA perlu direspon secara serius oleh Pemerintah Aceh.
Meskipun Pemerintah Aceh sudah melakukan proses evaluasi terhadap semua perijinan dalam pengelolaan sumberdaya alam Aceh oleh pihak swasta untuk semua sektor, proses untuk menata kembali sumberdaya alam Aceh perlu segera dilakukan. Supaya ke depan masyarakat Aceh tidak menjadi korban bencana yang disebabkan oleh “tabungan bencana” yang selama ini kita simpan.
  by

Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar